Oleh:

Dr. Antonius Alijoyo – Ketua Dewan Pengawas & Kode Etik Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA)

Ketua Dewan Pakar WAY ACADEMY

Yusuf Munawar – Dosen Ilmu Ekonomi, Universitas Parahyangan Bandung

Direktur Riset dan Pengembangan WAY ACADEMY


Dunia saat ini berada pada era ketidakpastian yang semakin kompleks yang mendorong terjadinya risiko. Risiko-risiko yang dihadapi tidak lagi terbatas pada satu sektor atau wilayah tertentu, melainkan memiliki cakupan dan dampak yang luas terhadap korporasi, pemerintahan, sampai sektor rumah tangga. Isu-isu global seperti ketegangan geopolitik, krisis iklim, dan perubahan sosial memaksa semua pihak untuk beradaptasi dengan cara pandang yang lebih holistik terhadap manajemen risiko. Penerapan manajemen risiko di era ketidakpatian global saat ini tidak dapat dipisahkan dan hanya menjadi tanggung jawab salah satu pihak saja (korporasi, pemerintah, rumah tangga), melainkan akan saling terkait.

Geopolitik dan Krisis Global: Risiko yang Menyebar

Ketegangan geopolitik di beberapa wilayah dunia, seperti konflik Rusia-Ukraina, tidak hanya berpengaruh pada stabilitas politik di kawasan tersebut, tetapi juga menyebabkan krisis energi global. Eropa yang sangat bergantung pada gas dari Rusia, misalnya, mengalami lonjakan harga energi yang mempengaruhi korporasi, rumah tangga, hingga kebijakan pemerintah. Di sini terlihat jelas bagaimana krisis geopolitik mengubah lanskap risiko global. Korporasi terpaksa menyesuaikan model bisnis mereka untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya dari satu negara, sementara rumah tangga harus menanggung kenaikan biaya hidup yang tidak terduga.

Dalam menghadapi risiko-risiko ini, pemerintah, korporasi, dan rumah tangga perlu berkolaborasi. Pemerintah harus merumuskan kebijakan yang menjaga stabilitas energi dan ekonomi nasional, korporasi harus memitigasi risiko rantai pasokan mereka dengan diversifikasi sumber daya, sementara rumah tangga harus mengelola keuangan pribadi dengan lebih bijak untuk menyiapkan diri menghadapi kenaikan harga barang dan energi. Penerapan manajemen risiko di era ketidakpastian global membantu negara dan perusahaan menavigasi risiko yang muncul dari konflik geopolitik, karena keputusan-keputusan yang diambil pada setiap level akan berdampak pada yang lainnya.

Krisis Iklim: Ancaman Global yang Terintegrasi

Krisis iklim merupakan ancaman eksistensial yang semakin mendesak. Perubahan iklim tidak hanya mempengaruhi lingkungan, tetapi juga menciptakan risiko ekonomi, sosial, dan politik yang besar. Banjir, kekeringan, dan badai yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim dapat menghancurkan infrastruktur vital, mengganggu produksi pangan, serta memicu migrasi masal. Semua ini memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan individu, kelangsungan bisnis, dan stabilitas pemerintahan.

Sebuah studi dari World Economic Forum menunjukkan bahwa risiko iklim adalah salah satu ancaman terbesar bagi ekonomi global dalam beberapa dekade terakhir. Bagi korporasi, ini berarti mereka harus memperhitungkan dampak krisis iklim dalam perencanaan strategis mereka—dari ketahanan rantai pasokan hingga investasi dalam teknologi ramah lingkungan. Pemerintah, di sisi lain, harus memperkuat kebijakan mitigasi iklim serta merancang infrastruktur yang lebih tangguh terhadap bencana alam.

Rumah tangga juga harus berperan dalam mitigasi risiko ini. Misalnya dengan konsumsi energi yang lebih efisien, investasi pada sumber energi terbarukan seperti solar panel, hingga partisipasi dalam program keberlanjutan adalah bagian dari manajemen risiko yang dapat diambil oleh rumah tangga. Namun, peran terbesar tetap ada pada pemerintah dan korporasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan ini. Tanpa kebijakan pemerintah yang memadai dan komitmen bisnis untuk berinvestasi dalam ekonomi hijau, upaya mitigasi iklim oleh rumah tangga akan menjadi sia-sia.

Krisis Sosial dan Perubahan Ekonomi: Risiko Sosial yang Mengancam

Kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin lebar menambah kompleksitas manajemen risiko di era modern ini. Ketidaksetaraan dalam distribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya esensial menciptakan ketidakstabilan sosial yang dapat memicu protes massal, kekacauan politik, dan ketidakpastian ekonomi. Pada 2019, gelombang protes yang melanda berbagai negara seperti Chile, Prancis, dan Hong Kong sebagian besar disebabkan oleh ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan ekonomi yang dianggap tidak adil.

Kesenjangan sosial ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan korporasi, karena jika tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan risiko yang menghancurkan stabilitas politik dan ekonomi. Di sinilah pentingnya manajemen risiko dalam perencanaan kebijakan publik dan strategi korporasi. Pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang inklusif dan berkeadilan, sementara korporasi harus berperan aktif dalam tanggung jawab sosial perusahaan untuk mengurangi ketimpangan ini. Rumah tangga, di sisi lain, perlu lebih aktif dalam partisipasi politik dan sosial untuk memastikan hak-hak mereka diperjuangkan.

Integrasi Manajemen Risiko: Menghadapi Risiko Multidimensional

Dari perspektif manajemen risiko, semua faktor ini—geopolitik, krisis iklim, dan perubahan sosial—tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Risiko yang dihadapi oleh korporasi, pemerintah, dan rumah tangga  bersifat saling terkait dan membutuhkan pendekatan yang holistik serta kolaboratif. Pengelolaan risiko tidak lagi bisa hanya difokuskan pada satu sektor atau entitas, melainkan harus melibatkan berbagai pihak untuk menciptakan sistem yang tangguh dan berdaya tahan.

Dalam konteks Indonesia, pemerintah Indonesia telah memiliki payung hukum multi-sektor yang dimuat pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2023 mengenai Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN). Berdasarkan Perpres ini, risiko yang terkait dengan pembangunan nasional harus dikelola, baik secara entitas tunggal maupun lintas entitas. Perpres ini juga melandasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 sebagai upaya untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Pada RPJPN ini semangat manajemen risiko menjadi landasan dalam rangka pencapaian sasaran-sasaran yang ditetapkan, misalnya sebagaimana tertuang pada pasal 16 UU No 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025-2029, yang berbunyi:

“Dalam rangka pencapaian sasaran Pembangunan Nasional, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengendalian dan evaluasi melalui Manajemen Risiko Pembangunan Nasional, kajian kelayakan, serta sistem data, informasi, dan teknologi terintegrasi”

Dalam konteks tersebut, pemerintah Indonesia memandang manajemen risiko dalam perencanaan jangka panjang yang komprehensif dan lintas sektor untuk memastikan kesinambungan pembangunan. Untuk itu, pemerintah, korporasi, dan rumah tangga harus bekerjasama untuk mengelola risiko. Misalnya, upaya mitigasi perubahan iklim harus melibatkan kebijakan pemerintah yang kuat, komitmen korporasi untuk beralih ke energi terbarukan, serta kesadaran individu/rumah tangga untuk mengurangi jejak karbon mereka. Hanya dengan pendekatan terpadu ini, risiko-risiko sistemik dapat dikelola secara efektif.

Pada aspek operasional, salah satu rujukan standar yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penerapan manajemen risiko bagi korporasi, pemerintahan, dan rumah tangga adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) ISO 31000. SNI ISO 31000 merupakan standar yang diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan mengadopsi standar internasional ISO 31000. Secara konsep, SNI ISO 31000 merupakan standar yang menjiwai konsep Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN).

Pada akhirnya, manajemen risiko bukan hanya tentang menghindari bencana atau mengurangi dampak negatif, tetapi juga tentang menciptakan peluang untuk bertahan dan berkembang di tengah perubahan. Dengan kesadaran akan risiko global yang semakin kompleks, korporasi, pemerintah, dan rumah tangga  dapat mengambil langkah-langkah proaktif untuk menciptakan masa depan yang lebih stabil, adil, dan berkelanjutan. Geopolitik dan krisis iklim adalah tantangan nyata, tetapi dengan penerapan manajemen risiko di era ketidakpastian global, kita dapat menghadapi berbagai krisis yang ada dengan kesiapan yang lebih baik.

Total Views: 51Daily Views: 3