Total Views: 47Daily Views: 2

Dalam menindaklanjuti mandat Kemenko Perekonomian dan Kemenkeu untuk mengoptimalkan digitalisasi – khususnya APBN dan APBD – kini pemerintah daerah dapat merealisasikan belanja daerah menggunakan Kartu Kredit Pemerintah Daerah (KKPD). Dalam inovasi ini tentu terdapat peluang dan risiko Kartu Kredit Pemerintah Daerah.

Apa itu KKPD?Dasar Hukum KKP dan KKPD

Sumber: Kemendagri RI

Kartu Kredit Pemerintah (KKP), menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 196/PMK.05/2018, adalah alat pembayaran berbasis kartu untuk belanja yang dibebankan pada APBN. Sedangkan, Kartu Kredit Pemerintah Daerah (KKPD) adalah kartu kredit yang digunakan untuk membayar belanja yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penggunaan KKPD tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 79 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan APBD. Berbeda dengan kartu kredit perorangan, KKPD menambahkan peran administrator yang memantau penggunaan kartu dan bertanggung jawab atas pengaktifan dan penonaktifan kartu. Pemegang KKPD wajib menyimpan bukti pengeluaran sebagai dasar verifikasi dan pertanggungjawaban.

Skema pembayaran KKPD ini sama seperti kartu kredit pada umumnya, di mana Bank penerbit KKPD akan memenuhi kewajiban pembayaran pemegang kartu terlebih dahulu. Kemudian, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) akan melakukan pelunasan kewajiban pembayaran pada waktu yang telah disepakati. Bahkan sekarang ini transaksi KKP dan KKPD dapat menggunakan QRIS, tidak harus menggunakan EDC. Saat ini, bank yang sudah memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk menerbitkan KKP (Kartu Kredit Pemerintah) antara lain Bank Mandiri, Bank BRI, dan Bank BNI. Sedangkan untuk bank penerbit KKPD (untuk daerah) adalah Bank BNI, Bank BRI, Bank Mandiri, Bank DKI, Bank Sultra, Bank Jatim, dan Bank Jateng.

Tujuan dan Sasaran KKPD

Implementasi KKPD bertujuan untuk:

  1. Meminimalkan penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara dan daerah, sehingga pemegang KKPD tidak perlu menunggu pencairan dana dari bendahara.
  2. Meningkatkan keamanan transaksi dengan mengurangi risiko kehilangan uang tunai dan memungkinkan penerbitan kartu baru jika hilang.
  3. Mengurangi potensi fraud, dengan transaksi non-tunai melalui bank, sehingga lebih terpantau.
  4. Mengurangi idle cash, Satker wajib membagikan uang persediaan (UP) menjadi 60% tunai dan 40% KKPD. Sehingga dana yang menganggur dapat dialokasikan untuk investasi jangka pendek atau kebutuhan pemerintah lainnya.

Sistem ini telah sejalan dengan konteks Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN)[1] dalam meningkatkan koordinasi, transparansi, dan akuntabilitas serta mengintegrasikan sistem keuangan di seluruh K/L dan Pemda. Diharapkan, kehadiran KKPD ini juga memfasilitasi mitigasi risiko lintas sektor dan membantu efektivitas penggunaan APBD secara optimal sehingga prinsip good governance dapat tercapai.

Risiko KKPD

Dalam memenuhi tujuan dan sasaran penggunaan Kartu Kredit Pemerintah Daerah (KKPD), berupa efisiensi penggunaan APBD, tentu terdapat ancaman/tantangan yang dapat mengganggu pencapaian sasaran tersebut. Ancaman/tantangan ini merupakan bentuk risiko sisi bawah/negatif. Berdasarkan SNI ISO 31000, pengelolaan risiko melibatkan proses sistematis dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan merespons risiko yang berpotensi mengganggu efektivitas KKPD. Berikut ini adalah beberapa risiko utama KKPD dan perlakuan risikonya menurut Kementerian Keuangan:

  1. Potensi Bunga Menambah Beban Hutang Negara

Biaya bunga yang tinggi dan tambahan biaya administrasi menimbulkan kekhawatiran akan beban hutang yang meningkat bagi pemerintah daerah. Sehingga, untuk mengelola biaya tambahan biaya ini, perlu penerapan perlakuan risiko berupa penghindaran kerugian, seperti yang telah diupayakan oleh DJPB melalui kerja sama dengan bank penerbit kartu untuk membebaskan biaya administrasi pada tahap awal implementasi KKP.

  1. Ketakutan Menggunakan KKP karena Keamanan Masih Diragukan

Banyak pengelola keuangan ragu menggunakan KKP karena risiko penyalahgunaan data kartu, seperti data nomor kartu, CVV, dan masa berlaku kartu. Risiko ini menyoroti pentingnya prinsip akuntabilitas dan transparansi sesuai SNI ISO 31000, yang bertujuan memastikan pemantauan dan kontrol yang memadai terhadap aktivitas penggunaan kartu. Upaya minimalisasi risiko keamanan tersebut, salah satunya dengan fitur One Time Password (OTP) dan notifikasi transaksi kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Selain itu, perlakuan risiko berupa pemantauan rutin oleh administrator KKP turut mendukung prinsip akuntabilitas dan transparansi tersebut, termasuk memberikan perlindungan tambahan terhadap potensi penyalahgunaan kartu.

  1. Kesulitan Penerapan Perpajakan dalam Transaksi

Pada awal penerapannya, tantangan utama KKPD adalah koordinasi terkait perpajakan dalam transaksi, terutama upaya memasukkan pajak ke dalam tagihan. Hal ini memerlukan penyesuaian kebijakan sebagai bagian dari perlakuan risiko untuk mendukung pencapaian sasaran. Risiko tersebut akhirnya teratasi dengan penerbitan PMK Nomor 231/PMK.03/2019. Ini membebaskan PPN, PPnBM, dan PPh 22 pada belanja pemerintah menggunakan KKP. Manajemen risiko mendukung pencapaian sasaran dengan cara menghilangkan hambatan perpajakan, meningkatkan efisiensi, dan mengoptimalkan anggaran tanpa mengurangi akuntabilitas fiskal.

  1. Kurangnya Mesin EDC di Daerah

Ketiadaan mesin EDC di beberapa daerah menjadi alasan pengelola keuangan untuk tidak menggunakan KKP. Padahal, transaksi digital melalui koneksi internet sudah memungkinkan pembayaran berbagai kebutuhan melalui QRIS. Manajemen risiko berperan dalam meningkatkan kesadaran mengenai alternatif transaksi nontunai dan mengembangkan solusi teknologi yang mendukung transaksi dengan KKP. Dengan prinsip inovasi berkelanjutan dalam SNI ISO 31000, risiko ini meminimalkan dengan mendorong satker untuk memanfaatkan QRIS serta beradaptasi dengan teknologi baru.

Sistem KKPD sangat membutuhkan manajemen risiko agar sempurna, terutama dalam mengantisipasi biaya administrasi tambahan dan evaluasi kebijakan secara berkelanjutan. Dalam rangka mencapai tujuan MRPN, Pasal 23 Perpres No. 39 Tahun 2023 menekankan pentingnya budaya manajemen risiko lintas sektor, termasuk pemberdayaan SDM di kementerian dan sektor publik. WAY Academy hadir sebagai mitra strategis untuk mendukung penerapan manajemen risiko guna mencapai penciptaan dan perlindungan nilai secara optimal

Oleh:


[1] Peraturan Presiden (Perpres) No. 39 Tahun 2023