Oleh: Fitri Sawitri, Tri Wahyono

 

Jamak dipahami bahwa pembangunan nasional menghadapi risiko terbesarnya berupa risiko kegagalan. Oleh karena itu, perlu upaya yang sistematis dan terukur agar setiap aktor pembangunan dapat berkontribusi secara optimal melalui serangkaian orkestrasi pembangunan nasional yang harmonis. Identifikasi terhadap risiko pembangunan nasional akan mengerucut pada dua kelompok besar, yaitu inefektivitas di level strategis dan inefisiensi di level operasional. Misalnya, proyek mangkak, over budget, keterlambatan proyek, ketidaksesuaian kualitas dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pengambilan risiko yang tepat atau dalam bahasa lain, penetapan selera risiko yang tepat menjadi faktor kunci agar diskresi di lapangan tidak kontraproduktif dengan upaya meningkatkan keberhasilan Pembangunan nasional. Artikel singkat ini akan membahas bagaimana menyelaraskan selera risiko, dan kapasitas risiko dalam kerangka Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) sehingga dapat berkontribusi dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional.

Untuk memberikan pemahaman yang mudah antara selera dan kapasitas risiko, artikel ini mengambil ilustrasi dari dunia militer. Dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI), terdapat pembedaan antara pasukan TNI pada umumnya dan pasukan elit khusus bernama kopasus yang sangat terkenal tangguh di medan perang. Anggota kopasus adalah prajurit terpilih yang dipersiapkan secara khusus agar mampu menyelesaikan penugasan yang sangat sulit, penuh keterbatasan, sekaligus berisiko tinggi. Kenapa perlu pasukan khusus? Karena risiko penugasan bermacam macam, ada yang risikonya rendah, sedang dan tinggi. Untuk risiko penugasan yang rendah, misalnya menjaga pos militer, mungkin cukup ditugaskan pasukan TNI pada umumnya, tetapi untuk penugasan yang berisiko tinggi, misalnya menghadapi terorisme, jika hanya menugaskan pasukan TNI pada umumnya, bisa jadi justru yang terjadi operasi militer gagal dan lebih banyak korban dari pihak TNI.

Bahkan dalam dunia bisnis sering dikatakan, “Silahkan ambil risiko, asalkan punya kapasitas untuk mengelolanya, pengambilan risiko tanpa dibarengi peningkatan kapasitas, sama saja dengan bunuh diri”. Beberapa ungkapan itulah yang menjadi pemicu pentingnya upaya penyelarasan antara selera dalam pengambilan risiko dengan kapasitas mengelola risikonya.

Pertanyaannya kemudian, apa hubungannya keselarasan antara selera dan kapasitas risiko dalam konteks pembangunan nasional? Semua sudah paham bahwa mensukseskan prioritas pembangunan nasional tidaklah mudah. Selama ini Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah sudah terlalu nyaman dengan alokasi anggaran yang rutin dikelola setiap tahun, bahkan ukuran kinerja hanya sebatas berapa jumlah pelaksanaan kegiatan, tanpa pernah berupaya untuk mengukur hasil atau kemanfaatan. Ketika kondisi tersebut kemudian dihadapkan pada model pembangunan prioritas yang memerlukan kolaborasi antar instansi pemerintah, nampaknya upaya peningkatan kapasitas instansi pemerintah untuk dapat melaksanakannya masih perlu dipertanyakan.

Sebagai penutup, risiko pembangunan nasional sangatlah besar, untuk mengambil risiko yang besar tersebut, perlu peningkatan kapasitas pengelolaan risiko yang lebih besar pula. Pertanyaannya kemudian, apakah instansi pemerintah sudah siap dengan model pembangunan nasional yang kolaboratif dan berfokus pada hasil? Melalui artikel ini, pemerintah perlu melakukan peningkatan kapasitas SDM yang massif dan terukur sehingga mampu mengelola risiko pembangunan nasional secara lebih efektif. Jika diperlukan, dapat dipertimbangkan pembentukan pasukan khusus berupa satgas MRPN, semacam kopasus dalam dunia militer.