URGENSI DAN STRATEGI IMPLEMENTASI MANAJEMEN RISIKO DI SEKTOR PUBLIK

D.S. Priyarsono
Guru Besar, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Ketua, Tim Manajemen Risiko, Institut Pertanian Bogor
Anggota, Komite Teknis Standardisasi Manajemen Risiko, Badan Standardisasi Nasional
Chairman, Academic Advisory Board, Center for Risk Management and Sustainability

ISU KUNCI

  • Berbagai studi lintas negara dan lintas sektor industri telah mengonfirmasi temuan bahwa implementasi Manajemen Risiko (MR) terbukti secara signifikan berkontribusi positif bagi peningkatan kinerja organisasi.
  • Di Indonesia temuan tersebut ditanggapi dengan berbagai regulasi yang mewajibkan implementasi MR khususnya di sektor keuangan, misalnya dalam subsektor perbankan, asuransi, dan pasar modal. Lebih lanjut, Menteri BUMN telah mewajibkan implementasi MR di semua perusahaan milik negara.
  • Di sektor publik (pemerintahan) implementasi MR sudah dimulai di beberapa kementerian/lembaga namun perkembangannya jauh lebih lambat daripada perkembangan implementasi MR di dunia korporasi.
  • Policy Brief ini menguraikan argumentasi tentang urgensi implementasi MR, mengidentifikasi beberapa faktor penghambat implementasi MR, berikut strategi untuk mengakselerasi implementasi MR di organisasi-organisasi publik.
  • Strategi yang diusulkan meliputi pendekatan top-down melalui kepemimpinan dan regulasi, pengembangan sumber daya manusia MR melalui pelatihan dan sertifikasi kompetensi, serta penerapan standar dan pengukuran kematangan (risk management maturity level).

RINGKASAN

Studi pustaka atas artikel-artikel berbagai negara tentang pengalaman implementasi MR mengonfirmasi simpulan bahwa MR secara signifikan berkontribusi positif terhadap pencapaian kinerja organisasi, bukan hanya korporasi, melainkan juga organisasi nirlaba dan sektor publik. Fakta ini disadari juga oleh pimpinan berbagai kementerian/lembaga di Indonesia yang terbukti dengan terbitnya berbagai keputusan yang mendorong bahkan mewajibkan implementasi MR di lembaga-lembaga yang bersangkutan.  Namun, survei termutakhir menunjukkan bahwa implementasi MR di sektor publik di Indonesia ternyata tidak berkembang secepat yang diharapkan.  Policy brief ini secara ringkas memaparkan urgensi implementasi MR di sektor publik, menjabarkan faktor-faktor penghambatnya, serta menyarankan strategi untuk mengatasi hambatan tersebut serta beberapa prasyarat untuk mempercepat laju implementasi MR untuk meningkatkan kinerja organisasi-organisasi sektor publik.

PENDAHULUAN

Studi literatur di berbagai negara lintas sektoral berkesimpulan bahwa MR telah terbukti memberikan sumbangan positif signifikan terhadap kinerja organisasi. Negara-negara itu tidak terbatas pada yang berperekonomian maju melainkan juga di negara-negara yang sedang berkembang.  Survei nasional yang melibatkan 309 responden pemimpin korporasi di Indonesia juga memberikan simpulan serupa.  Secara lebih khusus, ada simpulan bahwa MR telah meningkatkan daya saing ekonomi organisasi korporasi (Priyarsono & Munawar 2020).

Berdasarkan sektor-sektor industri yang dikaji, memang secara historis sektor keuangan  tergolong yang paling intensif menerapkan MR.  Namun, akhir-akhir ini secara internasional praktis semua sektor telah menerapkan MR, termasuk lembaga-lembaga publik[1], organisasi-organisasi nirlaba, bahkan lembaga pendidikan tinggi (Priyarsono, Widhiani, Sari 2019).

Di luar dugaan, sektor publik di Indonesia tidak mengikuti trend  tersebut di atas.  Alijoyo dan Fisabilillah (2021) melakukan survei dan wawancara mendalam terhadap 25 narasumber pemimpin sektor publik di Indonesia.  Mereka mengidentifikasi faktor-faktor penghambat implementasi MR di sektor publik di Indonesia.

Policy brief ini dimaksudkan untuk menjabarkan implikasi kebijakan dari tiga hasil kajian sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka.  Secara khusus akan dijabarkan beberapa faktor penghambat implementasi MR di sektor publik, berikut strategi untuk mengakselerasi implementasi MR di organisasi-organisasi publik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut standar ISO 31000:2018, MR adalah aktivitas-aktivitas terkoordinasi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi dalam kaitannya dengan risiko.  Alasan khas mengapa MR berkontribusi positif bagi pencapaian kinerja organisasi adalah daya paksanya pada pengelola organisasi untuk secara eksplisit, terstruktur, dan sistematis mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan kejadian di masa mendatang.  Perilaku pengelola yang bersifat demikian meningkatkan probabilitas bahwa kejadian-kejadian di masa mendatang yang berdampak buruk pada organisasi dapat dikelola secara tepat, dan di pihak lain, kesempatan yang berdampak baik pada organisasi dapat lebih mudah diraih.

Pernyataan teoretis tentang manfaat implementasi MR tersebut di atas secara empiris terbukti pula kebenarannya.  Relevansi dan urgensi implementasi MR semakin menguat pada situasi dewasa ini yang kental diwarnai ciri-ciri volatile, uncertain, complex, dan ambiguous (VUCA) terlebih akibat seringnya terjadi disrupsi teknologi dan masih belum selesainya pandemi COVID-19.

Untuk konteks pengelolaan organisasi-organisasi publik, MR menjadi semakin urgent untuk diterapkan, karena ranah publik bukan hanya berciri VUCA, melainkan secara langsung berkaitan dengan risiko-risiko gawat yang bila tidak dikelola dengan baik berpotensi mengancam eksistensi bangsa dan negara.  Beberapa contoh risiko yang harus dikelola oleh organisasi publik misalnya maraknya korupsi dan ancaman krisis ekonomi, baik selama penanganan maupun setelah pandemi COVID-19 berakhir.  Sebenarnya, di luar konteks pandemi pun organisasi publik sudah harus mengelola risiko-risiko besar, misalnya terkait dengan kejahatan cyber yang mengiringi transformasi digital dalam pengelolaan urusan publik, ancaman separatisme dan terorisme, polarisasi politik yang mengancam keutuhan bangsa, bencana alam yang diramalkan bakal sering terjadi akibat pengelolaan lingkungan hidup yang kurang memadai, dan sebagainya.  Di pihak lain, ada berbagai peluang yang bila dimanfaatkan secara tepat dapat berdampak positif bagi organisasi publik, misalnya fenomena bonus demografi, akses mobilitas yang semakin maju seiring dengan keberhasilan pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.

Berbagai upaya pemerintah Indonesia telah dilakukan untuk mendorong implementasi MR di sektor publik[2].  Beberapa lembaga yang paling menonjol dalam upaya itu dapat disebut, misalnya BI, OJK, Kemenkeu, BPK, BPKP, Kementerian BUMN, dan sebagainya.  Di antara lembaga-lembaga pendidikan tinggi, tercatat antara lain bahwa UI, IPB, dan ITB telah menerapkan MR dengan tingkat maturitasnya masing-masing.  Secara umum, jumlah organisasi publik yang sudah menerapkan MR relatif sangat kecil dan tingkat maturitasnya jauh tertinggal dibandingkan dengan yang terjadi di sektor swasta.

Mengapa perkembangan implementasi MR di sektor publik di Indonesia tidak secepat yang diharapkan?[3]  Sifat dasar organisasi publik, misalnya dalam proses pengambilan keputusan, tidak selentur organisasi swasta.  Dalam organisasi publik kepatuhan pada hukum/peraturan resmi lebih diprioritaskan daripada keutamaan berprakarsa (berinisiatif).  Sifat berhati-hati lebih diutamakan daripada sifat proaktif kreatif.  Dengan latar belakang itu, prakarsa baru seperti implementasi MR tidak disambut secara cepat seperti yang terjadi dalam sektor swasta.  Karena adopsi prakarsa itu terlambat, maka pada umumnya organisasi sektor publik belum berhasil mengintegrasikan sistem insentif, sistem kinerja, dan sistem pengelolaan risiko.  Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengelolaan risiko dalam organisasi sektor publik sudah ada, namun secara umum masih bertingkat maturitas relatif rendah dengan ciri-ciri terfragmentasi (siloed), belum terintegrasi, bahkan dalam beberapa kasus masih seperti aksesori.

Berdasarkan hasil kajian teoretis maupun pengalaman empiris, dapat disarankan beberapa butir strategi untuk mempercepat implementasi sebagai berikut.

  • Top-down approach. Implementasi MR tidak mungkin dalam waktu singkat membuahkan hasil yang terasakan oleh semua level pengurus organisasi.  Bagi pengurus level menengah ke bawah, implementasi MR boleh jadi dipersepsikan sebagai tambahan beban kerja yang tidak bermanfaat.  Oleh sebab itu, prakarsa implementasi MR harus dimulai dari pucuk pimpinan dan diselenggarakan dengan pendekatan top-down.
  • Kepemimpinan dan komitmen. Selanjutnya, prakarsa awal implementasi MR perlu diikuti dengan tekad kuat pucuk pimpinan untuk menerapkan MR dengan komitmen yang dapat didemonstrasikan (demostratable commitment) kepada semua warga organisasi.
  • Sesuai dengan ciri birokrasi, perlu ada peraturan resmi tertulis tentang implementasi MR yang dapat menjadi payung hukum bagi penyelenggaraan prakarsa tersebut.
  • Pengembangan SDM. Salah satu langkah bagi implementasi MR adalah penciptaan critical mass, yakni sejumlah minimum orang yang mempunyai pengetahuan, sikap, perilaku, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan implementasi MR.  Untuk itu program pelatihan dan sertifikasi kompetensi MR menjadi sangat penting.
  • Implementasi MR memerlukan standar yang sudah terbukti mampu menjadi panduan implementasi MR di berbagai negara lintas sektoral.  ISO 31000 yang telah berstatus sebagai Standar Nasional Indonesia dapat dinilai sebagai standar yang paling tepat.
  • Pengembangan budaya risiko. Sesuai dengan standar itu, pengembangan budaya risiko menjadi salah satu kunci keberhasilan implementasi MR.
  • Pengukuran maturitas. Secara periodik pengukuran tingkat kematangan implementasi MR perlu dilakukan, antara lain untuk memastikan apakah langkah-langkah implementasi MR sudah pada jalur yang benar dan untuk merencanakan langkah-langkah perbaikan di masa mendatang.  
  • Perbaikan terus-menerus. Sebagaimana berlaku juga dalam berbagai sistem manajemen, implementasi MR memerlukan continuous improvement.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Sebagai penutup, untuk memicu dan memacu prakarsa impelemetasi MR di sektor publik diperlukan demonstration effects, yakni pimpinan organisasi publik yang berprakarsa menerapkan MR perlu melihat secara langsung keberhasilan implementasi MR di berbagai organisasi.  Untuk itu  komunikasi dan studi banding  (benchmarking), dan berbagi pengalaman tentang MR (risk management experience sharing) melalui berbagai forum/komunitas perlu terus didorong.

DAFTAR PUSTAKA

Alijoyo A, Fisabilillah AFMS. 2021. Risk Management Implementation in Public Sector Organizations: A Case Study of Indonesia.  Organizational Cultures 22(1).
Priyarsono DS, Widhiani AP, Sari DL. 2019.  Starting The Implementation of Risk Management in a Higher Education Institution: The Case of IPB University.  IOP Conference Series: Materials Science and Engineering 598 012107.
Priyarsono, DS, Munawar Y. 2020.  Pengembangan SDM untuk Implementasi Manajemen Risiko: Perspektif Baru dari Sudut Pandang Pengguna.  Jurnal Aplikasi Bisnis dan Manajemen 6(3): 478-488.

BEBERAPA DOKUMEN STANDAR MANAJEMEN RISIKO
International Organization for Standardization 2009.  ISO GUIDE 73:2009 Risk Management Vocabulary.
International Organization for Standardization 2018.  ISO 31000:2018 Risk Management Guidelines.
International Organization for Standardization 2019.  IEC 31010:2019 Risk Management, Risk Assessment Techniques.

[1]World Development Report tahun 2014 menyatakan bahwa pengelolaan risiko dalam konteks pelayanan publik sudah menjadi suatu keharusan dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan suatu negara.
[2] Tata kelola pemerintahan yang akuntabel, efektif, dan efisien dalam mendukung peningkatan kinerja seluruh dimensi pembangunan antara lain diukur dengan indikator penerapan MR dalam pengelolaan kinerja instansi (Bappenas, Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024).
[3] BPK melihat salah satu masalah utama dalam penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dan banyaknya temuan terkait Sistem Pengendalian Intern adalah adanya kelemahan dalam penerapan unsur penilaian risiko (Pidato Ketua BPK dalam acara Expert Talk di Jakarta, 18 Oktober 2021).