[/fusion_text][/fusion_builder_column][/fusion_builder_row][/fusion_builder_container]
Memasuki era society 5.0, pengelolaan keuangan negara terus beradaptasi agar tetap menyajikan informasi keuangan yang transparan dan akuntabel. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menetapkan tonggak sejarah bagi reformasi keuangan negara yang berkelanjutan, termasuk digitalisasi keuangan negara. Dalam upaya reformasi keuangan tersebut, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah melakukan inovasi sistem pengelolaan keuangan dari sebelumnya Sistem Akuntansi Instansi Berbasis Akrual (SAIBA) menjadi Sistem Akuntansi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI) berdasarkan PMK 171/PMK.05/2021 dan terus mengalami penyesuaian dengan keluarnya PMK 158 Tahun 2023 tentang pelaksanaan sistem SAKTI.
Sumber: Kementerian Keuangan
SAKTI dan hubungannya dengan MRPN
SAKTI (Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi) adalah sistem informasi modern yang mengintegrasikan pengelolaan keuangan negara. Sistem ini menyatukan berbagai aplikasi keuangan untuk memudahkan proses mulai dari penyusunan hingga pertanggungjawaban anggaran. Ini mencakup seluruh tingkatan organisasi, dari satker hingga Kementerian/Lembaga (K/L). Program SAKTI tidak hanya mendukung modernisasi pengelolaan keuangan negara tetapi juga berperan dalam implementasi Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN)[1]. Yakni dengan meningkatkan koordinasi, transparansi, dan akuntabilitas dan juga mengintegrasikan sistem keuangan di seluruh K/L. SAKTI memfasilitasi mitigasi risiko lintas sektor dan membantu memastikan tata kelola keuangan yang baik, yang sejalan dengan prinsip-prinsip MRPN.
Tantangan Risiko dalam Pengelolaan Keuangan Digital
Lahirnya SAKTI tentu memberikan beragam manfaat dalam pengelolaan keuangan negara. Namun, dibalik besarnya manfaat tersebut, Kemenkeu akan menghadapi beberapa efek dari ketidakpastian dalam mencapai sasarannya[2] – risiko dalam pengelolaan keuangan negara berbasis digital. Risiko tersebut seperti cyber-attack, perubahan regulasi, hambatan operasional pada sistem, kurangnya kompetensi SDM, dan berbagai hal lainnya. Salah satu kejadian yang belum lama terjadi adalah peretasan terhadap Pusat Data Nasional (PDN). Kejadian ini memberikan pengalaman berharga dalam mengukur potensi sekaligus dampak dari serangan siber terhadap pelayanan publik di Indonesia.
Pihak Kemenkeu harus memberikan perlakuan terhadap risiko untuk meminimalkan kerugian – melindungi nilai – dan mengoptimalkan peluang – menciptakan nilai – yang ada. Hal ini dilakukan melalui aktivitas terkoordinasi untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi dalam kaitannya dengan risiko, yang dikenal sebagai manajemen risiko (SNI ISO 31000:2018). Manajemen risiko melibatkan setiap unit dan fungsi organisasi bekerja selaras untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan menangani risiko, serta memastikan proses pengambilan keputusan. Semua hal ini didukung oleh pemahaman risiko yang komprehensif di seluruh tingkat organisasi.
WAY Academy sebagai Mitra Strategis dalam Pengembangan Kompetensi Manajemen Risiko
Dalam rangka capaian MRPN tercapai, Pasal 23 Perpres No. 39 Tahun 2023 memberikan mandat untuk membangun budaya manajemen risiko lintas sektor termasuk Kementerian Keuangan dan kementerian lainnya. Salah satu strategi kuncinya adalah pemberdayaan dan peningkatan kompetensi SDM pada bidang manajemen risiko di sektor kementerian dalam pengelolaan risiko. Tidak hanya kementerian, namun seluruh fungsi sektor publik di negara untuk bersinergi dalam mencapai MRPN ini.
Untuk menjawab kebutuhan tersebut, WAY Academy hadir sebagai mitra dari organisasi sektor publik untuk membangun sinergi bersama. Hal ini tentu untuk mewujudkan tujuan dari penerapan manajemen risiko itu sendiri, yaitu proses penciptaan dan perlindungan nilai.
Oleh:
- Muhammad Maulana – The Way Academy
- Yusuf Munawar – The Way Academy
- Fitri Sawitri – The Way Academy
[1] Peraturan Presiden (Perpres) No. 39 Tahun 2023
[2] Definisi risiko menurut SNI ISO 31000:2018