MENAPAKI PEREKONOMIAN INDONESIA YANG LEBIH BAIK MELALUI PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO DI SEKTOR PUBLIK

Pada tanggal 15 Desember 2021, The Way Academy bekerjasama dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Lembaga Kajian Nawacita mengadakan seminar yang mengundang pembicara:

  1. Antonius Alijoyo – Founder & Principal CRMS Indonesia.
  2. Hendro Kusumo – Deputi bidang Pengembangan Standar Badan Standarisasi Nasional.
  3. Edi Sunardi – Koordinator Pembinaan Penyelenggaraan SPIP Daerah di Deputi Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah – BPKP Pusat.
  4. Trubus Rahardiansyah – Lembaga Kajian Nawacita

Dan sebagai moderator Bapak Charles R. Vorst selaku Ketua Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA).

PENTINGNYA PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA.

Manajemen risiko  di sektor publik telah menjadi bagian dari empat mainstream yang menjadi penjalin utama terciptanya tujuh agenda pembangunan. Manajemen risiko sektor publik bukan lagi hal baru, terlebih di era globalisasi, di mana kompetisi bukan lagi antar perusahaan, tapi antar bangsa, antar negara. Kompetisi di sini bukan perang, melainkan bagaimana menyejahterakan, memakmurkan  masyarakat di suatu negara masing-masing. Mengharuskan kompetisi dalam hal ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Suatu negara membutuhkan National Risk Management Framework, karena keuntungan yang diperoleh dari penerapan manajemen risiko ini jauh lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkan. Laporan yang dirilis oleh World Development Report tahun 2014, menyatakan bahwa pengelolaan risiko dalam konteks pelayanan publik sudah menjadi suatu keharusan dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan dalam suatu negara.

Indonesia juga telah memiliki undang-undang tentang pelayanan publik, Ombudsman. Yang menjadi perhatian sekarang adalah bagaimana para pekerja di sektor publik mensosialisasikan kepedulian dan keterlibatan masyarakat secara lebih luas agar kualitas pelayanan publik yang diberikan semakin tinggi. Sebagai contoh dalam suatu studi bagaimana sebuah negara mengelola permasalahan untuk kepentingan umum seperti masalah vaksinasi, sanitasi air, peringatan bahaya dini, kekurangan gizi, kerusakan akibat bencana alam, dan lain sebagainya. Dengan menetapkan break even point sebagai standar ukur, diharapkan penanganan permasalahan pada sektor publik ini dapat dilakukan secara efektif, efisien, sehingga tidak terjadi pemborosan waktu, energi, dan sumber daya.

Lanjutan dari World Development Report tahun 2014, dalam konteks Dunia fokus kajian saat ini bukan lagi tentang manajemen risiko, tetapi sudah bergerak menuju resilience (ketangguhan), yaitu tingkatan yang lebih tinggi dari maturitas manajemen risiko. Dari kacamata manajemen risiko dalam konteks Indonesia, dari contoh kasus paradigma pengawasan yang dijalankan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menunjukkan pengawasan bergerak dari oversight menuju pengawasan foresight, yaitu pertimbangan terhadap apa yang dibutuhkan negara di masa depan. Dengan demikian, tidak akan terjadi ketertinggalan dalam memajukan pelayanan publik yang lebih baik. Manajemen risiko bukan hanya tentang administrasi, tetapi bagaimana membangun kapabilitas sehingga pelayanan sektor publik tetap relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat luas.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024  Indonesia,  manajemen risiko sektor publik menjadi salah satu Program Prioritas Nasional dalam rangka penguatan pengelolaan reformasi birokrasi dan sistem akuntabilitas kinerja organisasi. Di sini diilustrasikan bahwa untuk mencapai terwujudnya pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa yang berdasarkan hukum serta birokrasi yang profesional dan netral, diperlukan tata kelola pemerintahan yang baik sebagai fondasi yang disokong oleh tiga pilar utama, yaitu aparatur sipil negara, kelembagaan dan proses bisnis organisasi serta akuntabilitas kinerja dan pengawasan dalam menyampaikan pelayanan publik yang berkualitas. Dalam kasus ini, penyelenggaraan program prioritas telah menyematkan pula manajemen risiko sebagai indikator dengan level tertentu sesuai dengan sifat dan jenis program yang direncanakan.

Standar Manajemen Risiko Sektor Publik Indonesia merupakan hasil adopsi dari Manajemen Risiko ISO 31000: 2018 yang secara luas digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara anggota G20 dan ASEAN yang mengadopsi standar ISO 31000 dalam organisasi sektor publik. Indonesia mengadopsi standar ISO 31000 ini dalam rangka implementasi manajemen risiko sektor publik (Alijoyo & Fisabilillah, 2021). Standar yang digunakan ini merupakan hasil sinkronisasi baik terminologi dan susunannya terhadap konteks yang terjadi di Indonesia. Dalam hal ini bahwasanya Indonesia perlu mengelola risiko terutama terhadap proyek strategis nasional yang dicanangkan. Seperti dalam kasus pengendalian risiko yang tertuang dalam PP 60 Tahun 2008 mengenai Sistem Pengendalian internal Pemerintah (SPIP) di mana Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berwenang untuk menjalankan fungsi pengawasan. Pengendalian risiko internal dirasa belum cukup untuk mengelola risiko yang datang dari eksternal, seperti menjawab tantangan, situasi yang tidak pasti, dan dinamika industri yang saat ini mengambil porsi lebih banyak melalui globalisasi. Peraturan luar negeri sangat cepat teradopsi, sehingga tanpa pendekatan pengelolaan yang tepat dapat mengakibatkan lambatnya penanganan permasalahan. Hal ini mendorong untuk lebih mewaspadai interaksi dengan lingkungan, dengan mitra, terutama dengan publik, terlebih dalam hal pelayanan publik.

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah awal dalam mempromosikan manajemen risiko terintegrasi baik dalam sektor publik dan privat melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN) dengan menetapkan standar manajemen risiko nasional pada tahun 2011, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI) ISO 31000:2011, yang merupakan adopsi identik dari standar internasional ISO 31000:2009 – Prinsip dan Pedoman Manajemen Risiko (Alijoyo & Fisabilillah, 2021). Dalam perkembangannya, Indonesia telah mengimplementasikan baik pedoman dan panduan terhadap Standar Manajemen Risiko yang diadopsi dari ISO 31000: 2018 berupa SNI ISO 31000: 2018 (Manajemen Risiko-Pedoman); SNI ISO 31004 (Panduan untuk Implementasi SNI ISO 31000); SNI 8848 ( Panduan Implementasi SNI ISO 31000 di sektor publik) dan SNI 8849 (Kompetensi SDM dalam Implementasi SNI ISO 31000) yang dikeluarkan oleh BSN untuk membantu meningkatkan kompetensi SDM dalam implementasi SNI ISO 31000. Sehingga kecil kemungkinan ditemukan gap atau deviasi dalam sinkronisasi terminologi dan pembangunan capacity dan capability nya atas standar itu sendiri.

Dari guideline (standar) yang ada, yang telah dikembangkan menjadi guidance (pedoman atau panduan) kemudian harus dikembangkan lebih lanjut ke tahap guide (pemandu atau subjek). SDM kompeten yang ter sandardisasi dalam bidang manajemen risiko harus dikembangkan untuk memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan pedoman. SDM yang kompeten dan ter standardisasi dalam bidang manajemen risiko akan mendorong budaya sadar risiko (Risk Culture), di mana budaya sadar risiko ini kemudian akan menunjang pencapaian kinerja (Alijoyo & Fisabilillah, 2021). Kesuksesan suatu organisasi, baik publik maupun swasta, merupakan suatu fungsi atas kejelasan tujuan yang ingin dicapai. Dalam kasus ini adalah kejelasan pelayanan publik. Tujuan ini harus relevan dengan kebutuhan generasi mendatang, bukan hanya pada saat ini saja, karena bagaimanapun pelayanan publik akan terus ada dan dilaksanakan. Tujuan ini juga harus ditunjang dengan orang-orang bertalenta, berbakat, memiliki keahlian dan mampu mencapai tujuan tersebut. Pada titik tertentu, tujuan dan talenta saja tidak akan menghasilkan apa pun tanpa kondisi kebudayaan yang kondusif. Melalui manajemen risiko diharapkan dapat mengantisipasi hal ini, menganalisis, mengevaluasi dan memastikan hal-hal yang ingin dicapai dapat terwujud.