Home » MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

MANAJEMEN RISIKO DALAM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

Salah satu hal yang cukup menantang bagi sektor publik adalah bagaimana kondisi perbaikan tata kelola dapat diperoleh dengan bermanajemen risiko. Sebagai dasar, sejak 2020 sebenarnya sudah terdapat target kematangan manajemen risiko level 3 di mana harapannya ketika instansi sudah berada pada level 3, maka instansi tersebut seharusnya sudah dapat melakukan perencanaan dengan baik, baik itu Renstra atau RPJMD, memiliki alur cascading yang benar-benar selaras, juga indikator dan target yang selaras. Pernyataan ini diperkuat dengan pendapat yang menyampaikan bahwa kematangan penerapan manajemen risiko suatu perusahaan menentukan kualitas dan efektivitas perusahaan dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko. Oleh karena itu, penilaian maturitas manajemen risiko akan memberikan beberapa manfaat bagi organisasi terlepas dari tingkat maturitas manajemen risiko mereka saat ini (Alijoyo & Norimarna, 2021). RPJMN 2020-2024 menyebut Target MRI sebagai titik awal dalam mengawal target-target kinerja di dalam dokumen perencanaan instansi.

Pemahaman sejauh mana tahapan manajemen risiko di dalam pengelolaan keuangan negara sangat diperlukan.  Dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang keuangan negara, bahwa sistem pengendalian (JRC) bertujuan meningkatkan kinerja akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan. Lingkup pengelolaan keuangan ini dimulai dari Perencanaan (sasaran RPJMD selaras dengan sasaran Renstra OPD, Program/Kegiatan); Penganggaran (RKA sesuai dengan kebutuhan dan SSH); Pelaksanaan (pengadaan barang jasa); Penatausahaan (sesuai dengan peraturan/pedoman); Pelaporan (penyajian sesuai SAP, dan SPIP memadai); dan Pengawasan (APIPI dan Eksternal Audit). Dalam praktiknya, sering kali muncul potensi in efektivitas dan inefisiensi dalam proses perencanaan.

Dalam perencanaan dari atas ke bawah sering kali muncul beberapa program atau kegiatan yang tidak punya pengaruh signifikan pada pencapaian sasaran strategis di atasnya. Ketika dalam konteks keselarasan sudah tidak ditemukan konektivitas, ini menjadi potensi in efektivitas. Ini menjadi tugas internal auditor untuk memastikan perencanaan dilakukan secara transparan dan ter-cascading dengan baik dan target yang realistis. Begitu juga dengan tahapan-tahapan selanjutnya, hampir semua dapat ditemukan potensi-potensi risiko yang harus dikelola dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan manajemen risiko dalam organisasi mengatasi potensi-potensi masalah yang muncul dapat lebih meningkatkan kinerja dan kemanjuran dalam memberikan layanan. Pada saat yang sama, hal ini juga menjadi alat untuk akuntabilitas (Alijoyo F. A., Norimarna, Kaho, & Sirait, 2021).

Berikut bagaimana gambaran penerapan MR dengan asumsi bahwa daerah telah menetapkan kebijakan MR kemudian menetapkan struktur/fungsi MR yang dilanjutkan dengan pelaksanaan proses MR dengan menilai efektivitas implementasi MR melalui Penilaian Penyelenggaraan SPIP Terintegrasi (mencapai MR Indeks). Selanjutnya BPKP melakukan evaluasi dan pembinaan terkait dengan peningkatan kualitas implementasi MR. semakin tinggi level maturitas SPIP terintegrasi (termasuk level MR Indeks), semakin besar kemungkinan Pemerintah Daerah mencapai tujuan pembangunan secara efektif dan efisien.

Ketika membicarakan risiko terkait, pencapaian sasaran strategis di suatu daerah, tidak hanya menjadi tanggung jawab oleh pelaksana saja. Pihak-pihak pendukung terkait lainnya juga tidak boleh tinggal diam. Diperlukan sinergitas berbagai pihak serta peran aktif dari koordinator dalam melihat keterhubungan sasaran strategis dengan OPD-OPD pengampunya, sehingga risiko menjadi komprehensif. Dengan demikian ketika membicarakan indikator yang dituju,  dapat diketahui apa saja faktor-faktor yang menjadi penghambat pencapaian dari sasaran strategis tersebut.

Sebuah program yang dilaksanakan tanpa MR bersifat sektoral, tidak sinkron, dan tidak efisien dengan potensi biaya terbuang tidak efektif.  Dengan kata lain, kegiatan satuan kerja berpotensi hanya mengejar target RENJA individual/sektoral. Berbeda dengan adanya MR dalam pelaksanaannya. Program dapat terhubung dengan atasnya, memiliki fokus yang sama, lebih efisien dalam menetapkan dan menggunakan anggaran serta potensi pembangunan yang maksimal. Manajemen risiko membantu risiko terhadap tujuan dapat diidentifikasi dan dimitigasi. Membantu mempertahankan nilai yang terkandung dalam visi, misi, tujuan dan sasaran. Output dari suatu program harus dapat menggeneralisasikan target sasaran. Tingkat kematangan manajemen risiko menggambarkan tingkat integrasi dan implementasi manajemen risiko mereka (Alijoyo F. A., Norimarna, Kaho, & Sirait, 2021). Ketika kualitas MR bagus, fokus pengawasan akan lebih menitik beratkan kepada program dengan risiko tinggi, sehingga auditor intern dapat memberikan rekomendasi strategis terhadapnya. Sebaliknya, jika kualitas MR masih rendah, pengawasan masih dilakukan secara tradisional.

BPKP telah mengeluarkan Peraturan BPKP Nomor 5 Tahun 2021 tentang penilaian maturitas penyelenggaraan SPIP terintegrasi yang meliputi pengukuran manajemen risiko indeks, siapa saja yang diberi amanat menjalankan penilaian, dan indikator yang dinilai. Hasil penilaian MRI Level 3 mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah tersebut telah memiliki struktur manajemen risiko yang mampu menangkap baik potensi risiko pada tahap strategis dan juga operasional. Tantangan dalam implementasi MR yang perlu diperbaiki adalah masalah komitmen dalam menerapkan manajemen risiko pada Pemerintah Daerah dengan memahami pentingnya manajemen risiko, yang bukan hanya sekedar formalitas. Peningkatan dapat dilakukan pada area terkait kepemimpinan, kebijakan, SDM, proses MR, kemitraan dan aktivitas penilaian.